top of page

Petra



Petra adalah kota kuno yang didirikan pada abad ke-1. Petra berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti ‘batu’. Petra berada di sebuah lembah di antara gunung-gunung yang membentuk sayap timur Wadi Araba. Lembah ini berupa tanah cadas luas yang berada di negara Yordania bagian barat daya, terbentang dari Laut Mati hingga Teluk Aqaba. Kota Petra sendiri terletak sekitar 262 km sebelah selatan Amman dan 133 km ke utara dari Agaba. Kota yang pernah ditinggalkan penduduknya pada masa lampau ini memiliki keindahan dan keunikan tersendiri dalam dunia arsitektur. Petra dibangun dengan cara memahat dinding dan membuat gua raksasa pada batuan cadas berwana merah jambu dengan ketinggian mencapai 40 meter. Walaupun bergaya arsitektur Romawi, ciri khas berupa pahatan pada batu tetap membuatnya berbeda dari bangunan-bangunan di masa Romawi ataupun Yunani kuno.

Akses yang dilalui menuju Petra adalah berupa bentangan ngarai sempit yang dikenal dengan nama ‘Siq’. Ngarai ini sepeti sebuah lorong panjang yang dihimpit oleh dinding batuan cadas setinggi lebih dari 600 kaki. Di beberapa bagian, terdapat jalur yang sangat sempit dengan lebar hanya sekitar 3 meter. Kota Petra yang megah dan anggun akan segera terlihat di ujung lorong Siq.

Pada awal berdirinya, Petra merupakan ibu kota kerajaan Nabatean (kerajaan kuno yang berada di Yordania). Didirikan oleh Raja Aretas IV sebagai kota yang sulit untuk ditembus musuh dan aman dari badai pasir karena letaknya yang berada di sebuah ngarai sempit dan jauh dari jangkauan alam luas. Dikatakan aman dari musuh karena jalur menuju kota Petra cukup sempit, bahkan di beberapa tempat, lebar ngarai hanya 3 meter. Aman dari badai pasir karena kota Petra terletak di dasar ngarai sehingga terlindungi.

Pada saat itu, Kota Petra dihuni sekitar 30 ribu penduduk. Pada masa itulah dibangun kuil agung sebagai tempat pemujaan. Dewa utama mereka adalah Dushara, yang disembah dalam bentuk batu berwarna hitam dan berbentuk tak beraturan. Dushara disembah berdampingan dengan Allat, dewi Arab kuno.

Kebutuhan akan air dan posisinya yang ada di wilayah tandus membuat suku Nabatean berpikir lebih maju dalam sistem pengairannya. Terdapat terowongan dan bilik penyimpan air yang menyalukan air bersih ke dalam kota. Mereka juga memiliki teknologi hidrolik untuk memompa dan mengangkat air sehingga dapat mencegah terjadinya banjir mendadak di dalam kota. Teknologi ini sangat membantu karena letak kota berada di level terbawah gurun yang sangat berbahaya jika terjadi bencana banjir.

Suku Nabatean sebagai penghuni kota Petra merupakan suku pengembara yang berkelana menggunakan kawanan unta bersama domba mereka. Mereka ahli dalam membuat tandon air bawah tanah sebagai media penyimpanan air bersih untuk keperluan saat berpergian. Di mana pun berada, mereka selalu membuat galian untuk saluran air guna memenuhi keperluan mereka akan air bersih. Tidak heran suku Nabatean ahli dalam membuat sumber air meski berada di wilayah tandus (gurun).Perdagangan yang mulai tumbuh di Yordania bagian selatan dan Laut Mati pada akhir abad ke-4 S.M diimanfaatkan oleh penduduk kota Petra untuk ikut berdagang. Mereka memanfaatkan posisi kota yang berada di persimpangan jalur perdagangan (antara Eropa, Timur Tengah, dan China) untuk menjadikan kota Petra sebagai salah satu pusat perdagangan dunia. Suku Nabatean sendiri berdagang dupa, rempah-rempah, dan gading yang antara lain berasal dari Arab bagian selatan dan India timur. Tujuan awal pembangunan kota sebagai tempat terlindung pun mulai dilupakan. Kota ini menjadi sebuah kota internasional yang unik karena letaknya yang berada di bawah tanah dan ukiran batu sebagai gerbang masuknya. Kerajaan pun mendapat hasil tambahan berupa pungutan cukai dan pajak dari para pedagang setempat atau pedagang luar yang masuk ke sana.

Kondisi kota yang telah terkenal di dunia dan sistem pertahanan yang berangsur-angsur mulai menarik perhatian Kerajaan Romawi untuk menguasai kota Petra. Pada tahun 106 Masehi, Romawi berhasil menginvasi kota Petra dan seluruh Kerajaan Nabatea. Situasi peperangan telah memperlemah posisi kota Petra sebagai pusat perdagangan. Sekitar tahun 700 M, sistem hidrolik dan beberapa bangunan utama di dalam kota Petra hancur menjadi puing-puing. Petra pun perlahan ditinggalkan penduduknya dan mulai menghilang dari perhatian dunia sehingga kejayaan, kemegahan, dan keunikannya hanya menjadi sebuah legenda.

Pada tahun 600 Masehi, dibangun gereja di dalam kota Petra. Abad ke-7 Masehi, Islam disebarkan di seluruh Arab dan memasuki kota Petra. Pada abad ke-14 dibangun sebuah masjid di kota Petra dengan kubah berwarna putih yang terlihat dari berbagai area di sekitar Petra. Setelah Perang Salib di abad ke-12, kota Petra menjadi 'kota yang hilang' (the lost city) selama lebih dari 500 tahun. Hanya penduduk lokal (suku Badui-yang membangun masjid tersebut di atas) di wilayah Arab yang mengenal dan menyinggahinya.

Pada tahun 1812, seorang petualang berkewarganegaraan Swiss, Johann Burckhardt, berhasil menyamar sebagai seorang muslim di antara kalangan suku Badui Arab untuk memasuki Petra. Legenda Petra pun meruak kembali di kalangan bangsa Eropa, dan disebut sebagai simbol teknik dan pertahanan sebuah kota yang memiliki peradaban tinggi.

Pada tahun 1985, Kota Petra dimasukkan ke dalam daftar situs warisan dunia. Tahun 2007, kota Petra telah terpilih menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia. Hingga saat ini, Istana Makam Hellenistis yang memiliki tinggi 42 meter masih berdiri kokoh dan megah di sana.


Single post: Blog_Single_Post_Widget

Recent Posts

Archive

Tags

bottom of page